Hukum Hardy-Weinberg
Hukum
Hardy Weinberg ditemikan oleh ahli Fisika W. Weinberg dan ahli matematika G.H.
Hardy pada tahun 1908. Kedua ahli tersebut berasal dari inggris. Untuk
menjelaskan hukum ini digunakan contoh perkawinan sapi shorthorn warna merah,
putih, dan roan. Seperti diketahui, sifat ini dikontrol oleh dua alel yang
kodominan, yaitu alel merah (R) dan alel putih (r). Jika kita asumsikan bahwa
frekuensi gen merah adalah p dan frekuensi gen putih adalah q, dengan p = 0,7
dan q = 0,3 maka proporsi gen sapi merah RR dan adalah p² = (0,7)² = 0,49,
proporsi sapi putih = q² = (0,3)² = 0,9 dan proporsi sapi roan = 2pq = 2 (0,7)
X (0,3) = 0,42. Akan dua didepan pq disebabkan oleh adanya dua kemungkinan
terbentuknya sapi roan yaitu dari pertemuan sperma yang mengandung gen R dengan
sel besar dengan sel telur yang mengandung gen r dan dari sperma yang
mengandung gen r sperma dengan sel telur yang mengandung gen R.
Ada dua
hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hukum hardy weinberg yaitu
1.
Jumlah frekuensi gen dominan
dan resesif ( p + q ) adalah 1
2.
Jumlah proporsi dari ketiga
macam genotip ( p² + 2pq + q²) adalah 1
Jadi,
pada dasarnya hukum ini menyatakan bahwa frekuensi gen dominan dan resesif. Pada
suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke
generasi lainnya jika tidak ada seleksi migrasi, mutasi, dan genetik drift. Keadaan populasi yang
demikian disebut dalam keadaan equilibrium (dalam keadaan seimbang) (Ronny Rachman Noor, 2008).
v
Hukum
Hardy-Weinberg dan Evolusi
Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotipe dalam
suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan dari satu
generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh
tertentu yang mengganggu kesetimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut
meliputi perkawinan tak acak, mutasi, seleksi, ukuran
populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Adalah
penting untuk dimengerti bahwa di luar laboratorium, satu atau lebih pengaruh
ini akan selalu ada. Oleh karena itu, kesetimbangan Hardy-Weinberg sangatlah
tidak mungkin terjadi di alam. Kesetimbangan genetik adalah suatu keadaan ideal
yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan genetik. Frekuensi
alel yang statis dalam suatu populasi dari generasi ke generasi mengasumsikan
adanya perkawinan acak, tidak adanya mutasi, tidak adanya migrasi ataupun
emigrasi, populasi yang besarnya tak terhingga, dan ketiadaan tekanan seleksi
terhadap sifat-sifat tertentu.
Contoh paling sederhana dapat terlihat pada suatu
lokus tunggal beralel ganda: alel yang dominan ditandai A dan yang resesif ditandai a. Kedua frekuensi alel tersebut
ditandai p dan q secara berurutan; freq(A) = p; freq(a) = q; p + q = 1.
Apabila populasi berada dalam kesetimbangan, maka freq(AA) = p2 untuk homozigot AA dalam populasi, freq(aa) = q2
untuk homozigot aa, dan freq(Aa) = 2pq untuk heterozigot.
Konsep ini juga dikenal dalam berbagai nama: Kesetimbangan Hardy-Weinberg, Teorema Hardy-Weinberg, ataupun Hukum Hardy-Weinberg. Asas ini
dinamakan dari G. H. Hardy dan Wilhelm Weinberg (Castle, W. E. 1903).
Syarat berlakunya asas Hardy-Weinberg
a.
Setiap gen
mempunyai viabilitas dan fertilitas yang sama
- Perkawinan terjadi secara acak
- Tidak terjadi mutasi gen atau frekuensi terjadinya mutasi, sama besar.
- Tidak terjadi migrasi
- Jumlah individu dari suatu populasi selalu besar
v
FAKTOR
– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FREKUENSI GEN DAN KEANEKARAGAMAN (VARIABILITAS)
GENETIK
Estimasi frekuensi gen yang sebenarnya
didalam suatu populasi sering memerlukan penggunan berbagai pendekatan
matematik. Namun pada pembahasan kita, untuk sebagian besar akan kita pusatkan
pada prinsip-prinsip dan konsep-konsep saja, dan mengabaikan langkah-langkah
sebenarnyaa dalam kalkulasi, yang dapat dicari dalam buku-buku genetika yang
terperinci. Kalkulasi ini memperhitungkan sejumlah faktor yang diketahui
mempengaruhi frekuensi gen dalam atau variabbilitas genetik dari, populasi.
Faktor-faktor itu diantaranya adalah mutasi, reproduksi seksual dan
rekombinasi, perkawinan keluarga, migrasi, arus genetik secara acak (“rendom
genetic drift”), seleksi, dan lingkungan.
Mutasi
Akhirmya , gen-gen terdapat dalam berbagai bentuk sebagai alela yang berlainan
karena mereka mengalami mutasi. Sebab itu, frekuensi alela-alela pada lokus
didalam suatu populasi di pengaruhi oleh sifat dapat bermutasi dari lokus itu.
Mutasi maju (“forward mutation”) mengurangi frekuensi gen-gen tipe liar; muatsi
surut (“back mutation”) meningkatkan frekuensi gen-gen tipe liar.
Selain dari pada itu, gen-gen dapat mengalami
mutasi maju menjadi banyak bentuk yang berlainan, suatu penomena yang telah
kita teliti terdahulu sebagai alelisma jamak. Adanya banyak alela yang
berlainan bagi gen yang sama dikenal sebagai polimorfisma. Pada tahun-tahun
terakhir ini, genetika molekular
telah meningkatkan pengetahuan kita mengenai polimorfisma ekstensif melalui
studi struktur molekular protein-protein (hemoglobin, misalnya) dan deretan
ADN.
v
REPRODUKSI
SEKSUAL DAN REKOMBINASI
Adanya
berbagai alela dalam suatu populasi menentukan variabilitas genetik populasi
itu.oraganisme-organisme yang berproduksi secara seksual cenderum memproduksi
keturunan yang vervariasi secara genetis karena pilihan acak gen dalam sel-sel
benih menyusul meiosis, dan fenomena rekombinasi. Segregrasi (pemisahan) alela
secara normal adalah akibat meiosis yang menjamin pemindahan (transmisi) yang
sama dari anggota sepanjang alela. Namun, diketahui ada contoh-contoh kelainan
transmisi, seperti pada kasus beberapa alela t resesif. Jantan-jantan yang
heterozigotik (+/t) lebih sering memindahkan alela t itu dari pada alela + oleh
sebab-sebab yang tidak diketahui.
Variabilitas
genetik dalam gamet-gamet organisme yang berproduksi secara seksual sebenarnya
mungkin lebih di pengaruhi oleh rekombinasi antara kromosom-kromosom dari pada
oleh berbagai mutasi. Ingat, bahwa rekombinasi dapat menyebabkan kehilangan
atau duplikasi material genetik.
v
PERKAWINAN
ACAK DAN KELUARGA
Sebagai
tambahan pada asumsi kita mengenai pilihan acak oranisma yang bereproduksi secara seksual, variabilitas meningkat jika
terdapat perkawinan acak. Namun perkawinan acak tidak berlaku pada bbanyak
populasi, terutama pada populasi manusia, karena sifat-sifat fisik terrtentu sering
merupakan dasar bagi pemilihan hidupnya. Selain dari pada itu, terdapat
beberapa populasi dengan tingkat perkawinan antara individual yang sekeluarga
yang tinggi disebabkan oleh berbagai aturan keagamaan, seperti halnya pada
masyarakat amish. Perkawinan individual-individual yang memepunyai hubungan
keluarga di kenal sebagai perkawinan keluarga (“inbriding”) pada manusia, hal
ini dinyatakan sebagai perkawinan konsanguinus (“consanguneous marriage”) dn
anda akan mengingat kembali akan akibat (konsekunsi) gen (Anna C. Pai, 1985).
v
FAKTOR
– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FREKUENSI GEN
1. Seleksi
Seleksi merupakan suatau proses yang
melibatkan kekuatan – kekuatan untuk menentukan ternaka mana yang boleh
berkembang biak pada generasi selanjutnya. Kekuaktan – kekuatan itu bisa di
kontrol se0penuhnya oleh alam yang disebut seleksi alam. Jika kekuatan itu di
kontrol oleh manusia maka prosesnya disebut seleksi buatan kedua macam seleksi
itu akan merubah frekuensi gen yang sat relatif terhadap alelnya. Laju perubahan
frekuensi pada seleksi buatan jika dibandingkan dengan seleksi alam.
Untuk mendemonstrasikan peran
seleksi dalam mengubah frekuesni gen, diambil suatu contoh populasi yang
terdiri dari beberapa ribu sap yang bertanduk dan yang tidak bertanduk. Jika
diasunsikan bahwa frekuensi gen yang bertanduk dan yang tidak bertandu pada populasi tersebut masing
– masing 0,5 ( bila terjadi kawin acak) maka sekitar 75% dari total sapi yang
ada tidak bertanduk dan 25% bertanduk. Dari 75% sapi yang tidak bertanduk sebanyak
1/3 bergenotip hemozigot dan 2/3 bergenotip heterozigot.
2. Mutasi
Mutasi adalah suatu perubahan kimia
gen yang berakibat berubahnya fungsi gen. Jika gen mengalami mutasi dengan
kecepatan tetap maka frekuensi gen akan sedikit menurun, sedangkan frekuensi
alel akan meningkat. Laju mutasi
bervariasi dari suatu kejadian mutasi ke kejadian mutasi lain. Namun, laju
relatif rendah ( kira – kira satu dalam satu juta pengandaan ge) sebagai
gambaran, diambil contoh frekuensi gen merah pada sapi angus, yaitu antara
0.05-0.08. jika terjadi kawin acak maka akan dijumpai 25-64 ekor sapi merh dari
setiap 10.000 kelahiran. Anak sapi yang berwarna merah dan juga tetua yang
heterozigot akan dikeluarkan dari peternakan. Secara teoritis frekuensi gen
merah akan menurun mendekati angkan nol, namun kenyataan frekuensi gen merah
tetap anata 0.05-0.08 dari suatu generasi ke generasi berikutnya hal itu bisa
dijalaskan dengan mengunakkan teori mutasi. Diduga bahwa laju mutasi gen hitam
menjadi gen merah sama dengan laju seleksi terhadaap gen merah sehingga
tercapai suatu keseimbangan.
3. Pencampuran populasi
Percampuran dua populasi yang
frekuensi gennya berbeda dapat mengubah frekuensi gen tertentu. Frekuenssi gen
ini merupakan rataan dari frekuensi gen dari dua populasi yang bercampur.
Jika
seorang peternak memiliki 150 ekor sapi dengan frekuensi bertanduk dengan =
0.95 ( bila terjadi kawin acak) maka sekitar 90% dari sapi – sapinya akan
bertanduk. Selanjutnya, jika diasumsikan bahwa ada enam pejatan baru yang
diamsukkan ke peternakan utnuk memperbaiki mutu geneteik terna – ternak yang
ada. Dari enam pejantan dimasukkan terdapat satu ekor yang bertanduk, dua ekor
yang tidak bertanduk heterozigot dan tiga ekor yang tidak bertanduk
homozigot. Frekuensi gen bertanduk pada
kelompok pejantan = 1/6 = 0.033. dengan asumsi bahwa tidak ada sapi
lain yang masuk kedalam peternakan maka frekuensi gen bertanduk pada populasi
itu setelah terjadi kawin acak, selama satu generasi ( 0.950 + 0.333) / 2 = 0.064
4. Silang dalam (inbreeding )
dan sialng luar (outbreeding)
Silang dalam merupakan salah satu
bentuk isolasi secara genetik. Jika suatu populais terisolasi, silang dalam
cenderung terjadi karena adanya keterbatasan pilihan dalam proses perkawinan.
Jika silang dalam terjadi anatara grup ternak yang tidak terisolasi secara
geografis maka pengaruhnya juga yang sama. Oleh sebab itu, silang dalam
merupakan suatu isolasi buatan. Sebenarnya silang dalam tidak merubah frekuensi
gen awal pada saat proses silang dalam dimulai. Jika terjadi perubahan
frekuensi gen maka perubahan itu disebabkan oleh adanya seleksi, mutasi dan pengaruh
sampel acak. Jika silang luar dilakukan pada suatu populasi yang memilik rasio
jenis kelamin yang sama dengan frekuensi gen pada suatu lokus yang sama pada
kedua jenis kelamin maka frekuensi gen tidak akan berubah akibat pengaruh
langsung silang luar.
5. Genetic drift
Genetic
drift merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan frekuensi gen
yang mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang di pindahkan
untuk tujuan pemulian ternak atau dibiakan. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok ternak asalnya maka frekuensi
gen yang terbentuk pada populasi baru dapat
berubah. Perubahan frekuensi gen yang mendadak dapat pula disebabkan
oleh bencana alam, misal matinya sebagian besar ternak yang memiliki gen
tertentu (Ronny Rachman Noor, 2008).
Referensi
Castle, W. E. (1903).
The laws of Galton and Mendel and some laws governing race improvement by
selection. Proc. Amer. Acad. Arts Sci.. 35: 233–242.
Crow, Jf (Jul 1999). "Hardy, Weinberg and language impediments." (Free full text). Genetics 152 (3): 821–5. ISSN 0016-6731. PMID 10388804. PMC 1460671. http://www.genetics.org/cgi/pmidlookup?view=long&pmid=10388804.
Edwards, A.W.F. 1977. Foundations
of Mathematical Genetics. Cambridge University Press, Cambridge (2nd ed.,
2000). ISBN 0-521-77544-2
Emigh, T.H. (1980). A
comparison of tests for Hardy–Weinberg equilibrium. Biometrics 36:
627–642.
Ford, E.B. (1971). Ecological
Genetics, London.
Guo, Sw; Thompson, Ea
(Jun 1992). "Performing the exact test of Hardy-Weinberg proportion for
multiple alleles.". Biometrics 48 (2): 361–72. ISSN 0006-341X. PMID 1637966.
Hardy, Gh (Jul 1908).
"MENDELIAN PROPORTIONS IN A MIXED POPULATION.". Science (New York,
N.Y.) 28 (706): 49–50. doi:10.1126/science.28.706.49. ISSN 0036-8075. PMID 17779291.
Burns, G.W., The science of genetics,
chapter 14, population genitics (new york: macmillan publishing Co., inc.,
1980).
Searle, A.G., “Gene freguencies in london
Cats”, journal of genetics, No. 49:214,1949.
Searle, A.G., “Gene freguencies in
singapore cats”, journal of Genetics, No. 56:111, 1959.
Stern, C., “The Hardy-Weenberg Law”,
Science, No. 97:136, 1943.
Sufflebeam, C.E., Genetics of Domestics
Animals (New jesrey: Prentice-hall, inc., 1989).