BAB I
PENDAHULUAN
Selama
kebuntingan, pertumbuhan dan perkembangan uterus dipengaruhi oleh peningkatan
konsentrasi hormon progesteron dan estradiol (Sumaryadi, et al, 2000),
selanjutnya kehadiran hormon-hormon tersebut berperan merangsang pertumbuhan
dan perkembangan kelenjar susu guna mempersiapkan sumber makanan (produksi
susu) bagi fetus yang akan dilahirkan (Manalu, dan Sumaryadi, 1995) . Sumber
utama penghasil hormon yang berkaitan dengan reproduksi seperti estrogren dan
progesteron berasal dari folikel. Hewan-hewan betina sejak lahir pada
ovariumnya dilengkapi oleh ratusan ribu folikel, namun selama hidupnya hanya
sebagian kecil saja yang berhasil diovulasikan.
Usia
kebuntingan yang dianggap normal (matur / aterm) untuk
melahirkan adalah berkisar 38-42 minggu (Sumaryadi, et al, 2000). Jika partus terjadi di usia
kehamilan <38 minggu disebut preterm (prematur), sebaliknya jika partus
terjadi saat usia kehamilan>42 minggu dinamakan posterm (postmatur)
(Partodihardjo, 1992).
Partus
normal/biasa jika fetus
lahir melalui vagina dengan letak belakang kepala, tanpa memakai alat
pertolongan istimewah (forceps, vacum) serta tidak melukai ibu dan janin
(kecuali episiotomi), berlangsung kurang dari 24 jam(Partodihardjo,
1992).
Partus
abnormal jika fetus
lahir melalui vagina dengan bantuan tindakan/alat istimewa (vaccum, forceps,
dekapitasi, embryotomi, dll) atau melalui abdomen (operasi sectio cesarea)
(Partodihardjo, 1992).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode
Fetus
Fetus adalah hasil akhir dari
suatu proses diferensiasi secara teratur yang merubah zigot bersel satu menjadi
suatu replica dari jenis hewan yang bersangkutan (Iman dan Fahriyan, 1992). Selama
permulaan cleavage pada satu sel telur yang telah dibuahi, ukuran sel tersebut
berkurang secara progresif dengan sedikit perubahan bentuk. Selama akhir
perkembangan embrional ukuran sel tidak
berubah secara nyata sedangkan jumlah sel bertambah.
Periode fetus
berlangsung pada 46 hari kebuntingan sampai partus. Periode ini ditandai dengan
pertumbuhan alat-alat tubuh seperti pembentukan tulang dan rambut dan
perubahan-perubahan lain. Jadi periode fetus merupakan periode terakhir yang
dimulai dengan terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam.
Selama dua per tiga awal
kebuntingan, fetus berkembang dengan lambat dan baru pada sepertiga terakhir
kebuntinga fetus berkembang dengan sangat cepat. Pertambahan masa fetus pada
sepertiga masa kebuntingan mencapai 85% dari bobot lahirnya, sehingga wajar
terdapat hubungan antara tingkat nutrisi pada periode ini dengan bobot lahir
anak khususnya diamati pada domba (Iman dan Fahriyan, 1992).
Karbohidrat
merupakan sumber makanan utama bagi perkembangan fetus. Kurang lebih setengan
kalori dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metabolisme berasal dari glukosa,
seperempat dari laktat yang dibentuk dari glukosa dalam plasenta, sedangkan
sisanya berasal dari asam amino (Toelihere 1985). Kalori tambahan dari pertumbuhan fetus berasal
dari asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin dan mineral. Beberapa
dari zat ini ditransfer secara seleksi dari induk ke fetus melalui mekanisme
transport yang memenuhi kebutuhan fetus pada saat induknya mengalami defisiensi
nutrisi.
Tahap perkembangan
fetus dimulai dari diferensiasi, perkembangan somit, organogenesis dan
perkembangan diferensiasi organogenesis.
1)
Diferensiasi
Difernsiasi adalah suatu proses dimana sel-sel
embryonal bersegregasi untuk membentuk banyak macam sel. Selama permulaan
diferensiasi, sel-sel pada satu kutub blastosis membentuk 3 lapisan sel yang
terpisah. Lapisan terdalam, endoderm, membentuk organ bagian dalam termasuk dinding
usus, kelenjar, vesica urinaria dan organ-organ lain (Iman dan Fahriyan, 1992).
Lapisan terluar, ektoderm, membentuk medulla adrenal, otak, sum-sum tulang
belakang dan semua derivat sistem syaraf, termaksud vesicula optica, dan neurohypophysa.
Sel-sel ektodermal yang terletak lateral dari ektoderm neural membentuk adenohypophysa,
kulit dan semua derivatnya termaksud kelenjar mammae dan kelenjar-kelenjar
lainnya, kuku, rambut, teracak dan lensa mata. Lapisan benih ke tiga, mesoderm,
antara ektoderm dan endoderm, membentuk jaringan ikat, sistem vasculer, tulang
dan otot serta cortex adrenal (Iman dan Fahriyan, 1992). Sel-sel kelamin primer
mungkin berasal dari mesoderm atau ektoderm.
2)
Pembentukan
Somit
Segmen-segmen tubuh atau somit, yang berkembang
dari lapisan luar (lapisan somatik) mesoderm, berdiferensiasi menjadi tiga
daerah yang akan membentuk berbagai bagian tubuh fetus. Daerah pertama
berkembang menjadi tulang belakang, yang menyelubungi saluran syaraf
didalamnya. Daerah kedua, bagian teratas dekat saluran syaraf, membentuk urat
daging skeletal. Daerah ketiga, bagian terbawah somit, membentuk jaringan ikat
dan kulkit. Pada sapi diferensiasi daerah-daerah somit dimulai 19 hari setelah
ovulasi dan jumlahnya bertambah banyak secara cepat mencapai 25 pada hari ke
23, 40 pada hari ke 26 dan 55 pada hari ke 23(Iman dan Fahriyan, 1992).
3)
Organogenesis
Pada sapi permulaan pembentukan organ dan
bagian tubuh berlangsung sejak minggu ke 2 sampai ke 6 masa kebuntingan. Selama
periode ini juga terjadi pembentukan saluran pencernaan, paru-paru, hati dan
pangkreas. Permulaan pembentukan sistem-sistem otot, kerangka, syaraf dan
urogenetalia sudah ditemukan (Partodihardjo, 1982). Pada hari ke 21 jantung mulai berdenyut dan
sirkulasi darah mulai berlangsung.
4)
Perkembangan
diferensiasi komponen-komponen fetus
Sesudah dimulai organogenesis terdapat suatu
periode peningkatan dimensi fetus secara cepat. Hal ini dapat terjadi dari
pertambahan jumlah sel dan pembesaran ukuran sel melalui pertambahan subtansi
protoplasma; yang biasa disebut dengan pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diuraikan
sebagai mutlak dan relatif (Iman dan Fahriyan, 1992). Pertumbuhan mutlak adalah
perubahan volume panjang kepala-pangkal ekor, atau berat fetus perunit waktu. Pertumbuhan
relatif adalah pertumbuhan mutlak perdimensi permulaan interval yang diukur.
Pertumbuhan mutlak fetus tidak bersifat linear tetapi bertambah secara
eksponensial sampai kelahiran, mencapai maksimum selama akhir kebuntingan,
sedangkan pertumbuhan relatif menurun kira-kira pada pertengahan kebuntingan.
Pada sapi lebih dari setengah pertambahan berat fetus terjadi selama 2 bulan
berakhir kebuntingan. Pada waktu partus berat fetus mencapai 60% berat total
konseptus(Iman
dan Fahriyan, 1992).
Berbagai organ fetus bertambah menurut
kecepatan yang berbeda-beda, yang menyebabkan perubahan konformasi organ-organ
secara kontinu. Pola pertumbuhan fetus berlangsung mengikuti suatu aturan yang
defenitif. Misalnya pada waktu lahir, kepala, kaki dan sepermpat bagian depan
tubuh relatif lebih berkembang dari pada otot-otot.
Pertambahan dan pertumbuhan kerangka tubuh
berlangsung seragam, akan tetapi beberapa dimensi bertambah secara lebih cepat
dari pada yang lain yang mengakibatkan perubahan proporsi tubuh. Perbedaan
bangsa, terutama antara besar dan kecil, juga terdapat untuk tinggi pundak atau
panjang kepala sampai pangkal ekor.
Pada semua hewan ternak, pertumbuhan dari
blastocyst disertai dengan perubahan bentuk menyerupai tali dan mengisi
sebagian besar lumen uterus. Pada waktu itu, terjadi proses diferensiasi yang
disertai dengan pembentukan organ-organ dari embryo dan juga pembentukan
struktur extra embryonic yang
kemudian akan menjadi selaput fetus (Partodihardjo, 1982).
Beberapa germ layer berkembang dalam blastocyst,
yaitu ektoderem, mesoderem, dan endoderem, semuanya merupakan dasar dari
perkembangan selanjutnya (Toelihere, 1985). Setelah blastocyst berbentuk
panjang seperti tali terbentuklah amnion dan allantochorion. Pada tahap
permulaan terbentuklah struktur yang ke tiga yaitu kantung kuning telur.
Kantung tersebut menyediakan makanan bagi perkembanagan embryo pada tahap itu,
tetapai lama kelamaan kantung kuning telur akan hilang.
Lipatan gabungan antara ektoderem dan mosederem
(yang sekarang disebut trophgoderm) membentuk amnion (Toelihere, 1985). Kantung
kecil tersebut gambung dan berisi cairan bening. Fetus yang mengapung bebas
dalam cairan itu akan terlindung dari gangguan mekanis yang mungkin dilakukan
induk bila induk tiba-tiba bergerak. Cairan amnion tetap ada selama hewan
bunting, tetapi pada sapi setelah 45 hari amnion relatif tidak banyak
mengandung cairan dan fetus tidak dipalpasi melalui dinding amnion.
Allantois berkembang dari usus bagian belakang,
kemudian bergabung dengan chorion yang merupakan selaput dibagian paling luar
yang terdiri dati dua lapisan yaitu ektoderm dan endoderm (Toelihere, 1985). Gabungan itu
dissebut allanto-chorion. Allantois dialiri darah dan pembuluh darah tersebut
berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan pembuangan kotoran antara fetus
dan induknya. Perlekatan allanto-chorion ke endometrium uterus disebut
plasentasi (placentation). Sehingga aliran darah anak darah dan induk saling
tukar menukar dan bervariasi diantara berbagai golongan hewan. Pada sapi dan
domba ada daerah kontak khusus yaitu cotyledon. Cotyledon-cotyledon tersebut
kecil, bentuknya seperti cakram dan kaya akan pembuluh darah (Partodihardjo, 1982) . Dari cotyledon-cotyledon, pembuluh-pembuluh
darah itu akan menyebar ke uterus dan bagian dari fetus. Darah tidak langsung
lewat dari dari saluran darah induk kesalurandarah fetus dan sebaliknya, tetapi
ada yang memisah kedua aliran tersebut, yaitu berupa lapisan-lapisan yang
terdiri dari sel-sel dan melalui lapisan-lapisan ini zat-zat makanan akan lewat
dala satu arah, dan sisa-sisamakanan dari arah yang berlawanan. Ada beberapa
subtansi yang tidak dapat menembus jaringan-jaringan antara fetus dan induk
karena konfigurasi molekulnya. Dari subtansi-subtansi tersebut yang penting
adalah anti bodi. Anti bodi tersebut mungkin banyak terdapat pada induk, tetapi
hanya didapati dalam jumlah sedikit pada fetus. Untuk melindungi fetus dari
penyakit, sesudah lahir, hewan harus mendapatkan anti bodi dari sumber lain.
Pada mamalia sumbernya biasanya dari kolostrum atau susu yang diproduksi selama
dua atau tiga hari permulaan laktasi.
5) Ekstermitas sampai
kelahiran.
Selama periode ini, karunkula dan
kotiledon berkembang dan membesar untuk mensuplai makanan pada fetus. Pada
permulaan periode fetus, terbentuklah kelopak mata, osofokasi tulang dimulai
dan perubahan-perubahan cepat terjadi pada bentuk dan ukuran kaki (Iman dan Fahriyan, 1992). Pada
akhir masa kebuntingan, anak fetus ternak yang normal telah berkembang
sedemikian rupa sehingga sanggup hidup di luar tubuh induknya setelah partus.
B. PARTUS PADA SAPI
Kelahiran atau partus adalah proses
fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan placenta dari induknya
pada akhir masa kebuntingan.
1)
Gejala-Gejala Menjelang Partus
Tanda
ataupun gejala-gejala menjelang partus pada hewan ternak, pada umumnya hampir
sama dari spesies ke spesies, tetapi tidak konstan antara individu ternak dan
antara partus yang berurutan. Tanda-tanda itu misalnya : induk hewan
gelisah, ligamenta sacrospinosum et tuberosum merelaks, edema pada
vulva, lendir
sumbat cervic mencair, kolostrum telah menjadi cair dan apabila ambing
dipencet akan mengeluarkan susu, dan sebagainya (Manalu et. al,. 1995). Gejala-gejala ini merupakan indikasi yang baik terhadap
perkiraan waktu kelahiran yang diharapkan.
Waktu perkawinan jika diketahui,
sangat membantu dalam memperkirakan waktu partus. Pada peternakan yang dikelola
secara baik, catatan perkawinan merupakan suatu keharusan. Segera sebelum
melahirkan, kebanyakan hewan cenderung memisahkan diri dari kelompoknya.
Pada sapi ligament-ligament pelvis,
terutama ligament sacroischiadicus, sangat mengendur yang menyebabkan
penurunan ligament dan otot-otot pada bagian belakang. Relaksasi
ligament-ligament pelvis, cervix dan struktur di sekitar perineum disebabkan
oleh oedema dan perubahan-perubahan di dalam serabut kolagen pada jaringan ikat
karena peningkatan estrogen dari placenta dan kelenjar endokrin lainnya seprti
adrenal. Relaxin juga memegang peranan penting. Pada kebanyakan sapi,
pengendoran ligament-ligament ini menandakan bahwa partus mungkin akan terjadi
dalam waktu 24 – 48 jam (Manalu et. al,. 1995). Relaksasi ligament juga jelas terlihat dengan
peninggian pangkal ekor. Vulva menjadi sangat oedematus, melonggar dan mencapai
2 – 6 kali ukuran normal. Ambing membesar dan oedematus. Pada sapi dara
pembesaran ambing dimulai pada bulan keempat periode kebuntingan. Pada sapi
pluripara pembesaran ambing mungkin tidak nyata 2 – 4 minggu sebelum partus. Pada
sapi berproduksi susu tinggi, terutama sapi muda, oedema ambing yang sangat
besar dapat mengakibatkan kesulitan berjalan. Oedema dapat mengembang ke
cranial pada dasar abdomen sampai ke daerah xiphoid dan tebalnya dapat mencapai
5 – 15 cm.
Pada daerah pusar ia dapat menyerupai hernia
umbilicalis dan dapat juga menyebar ke belakang sampai daerah vulva.
Segera sebelum partus sekresi kelenjar susu berubah dari warna dan konsistensi
seperti madu kering menjadi kuning, keruh dan gelap yang disebut kolostrum. Suatu lendir putih, kental dan lengket
keluar dari bagian cranial vagina mulai bulan ketujuh masa kebuntingan. Lendir
tersebut semakin banyak keluar menjelang kelahiran. Segera sebelum partus
jumlah lendir sangat meningkat dan penyumbat cervic mencair.
Selama beberapa jam sebelum partus
hewan memperlihatkan anorexia dan ketidaktenangan. Sapi dara memperlihatkan
kesakitan abdominal, menghentak-hentakkan kaki, mengibas-ngibaskan ekor,
berbaring, dan bangkit kembali.
2)
Presentasi, Posisi, dan Postur Fetus
Kedudukan foetus perlu ditentukan
secara teliti sewaktu memasuki saluran kelahiran dan pelvis (Manalu
et. al,. 1995). Deskripsi ini dipakai pada kelahiran
normal maupun abnormal.
Presentasi mencakup :
1.
Hubungan antara sumbu spinal fetus terhadap sumbu panjang tubuh induk.
Presentasi dapat longitudinal ataupun transversal.
2.
Bagian fetus yang mendekati atau memasuki rongga pelvis atau saluran
kelahiran. Bagian fetus tersebut adalah bagian anterior atau posterior pada
presentasi longitudinal dan dorsal atau ventral pada presentasi transversal.
Pada presentasi longitudinal, sumbu
spinal fetus sejajar dengan sumbu induk, sedangkan pada presentasi transversal
sumbu panjang fetus terletak menyilang atau tegak lurus terhadap sumbu panjang
induk. Pada presentasi longitudinal, bagian fetus dapat terletak anterior
ataupun kepala muncul terlebih dahulu dan dapat pula terletak posterior atau
bagian ekor fetus muncul terlebih dahulu. Presentasi transversal dapat terjadi
ventral posisi yaitu bagian bawah tubuh fetus menghadap keluar saluran
kelahiran dan dapat pula terjadi dorsal posisi dengan bagian punggung fetus
menghadap keluar.
Posisi adalah hubungan antara dorsum atau
punggung fetus pada presentasi longitudinal, atau kepala pada presentasi
transversal terhadap sisi pelvis induk, yaitu sacrum, pubis, ilium kiri dan
ilium kanan (Manalu et. al,. 1995).
Postur menunjukkan hubungan extremitas,
yaitu kepala, leher dan kaki, terhadap tubuh fetus (Manalu et. al,. 1995). Extremitas tersebut dapat
membengkok, lurus, terletak di bawah, di samping kiri, di samping kanan
,ataupun di dorsal fetus.
Pada keadaan normal, fetus terletak
pada presentasi longitudinal anterior, posisi dorso-sacral dengan kepala
bertumpu pada tulang-tulang metacarpal dan lutut pada kaki depan yang melurus. Kelahiran
dapat pula berlangsung normal bila fetus berada dalam presentasi longitudinal
posterior, posisi dorso-sacral. Kecuali pada keadaan fetus yang kecil, posisi
lainnya berakhir dengan distokia. Presentasi transversal jarang
terjadi dan jikalau terjadi selalu berakhir dengan distokia.
Presentasi longitudinal posterior, posisi dorso-sacral, dengan kaki-kaki
belakang tertahan ataupun melurus dibawah tubuh, biasa disebut dengan letak sungsang.
3)
Mekanisme Inisiasi Kelahiran
a)
Mekanisme Stimulasi Mekanik
Pengembangan uterus karena fetus yang semakin membesar menyebabkan
peningkatan sensitivitas otot-otot uterus terhadap estrogen dan oxytocin (Manalu
et. al,. 1995). Semakin tua usia kebuntingan, maka
semakin besar pula volume fetus dalam kandungan. Hal ini dihubungkan dengan
kebuntingan kembar pada spesies monotoccus, yang pada umumnya mengalami proses
kelahiran lebih awal.
Tetapi teori Mekanik ini dibantah oleh
suatu kejadian yang disebut Hydrops (Partodihardjo, 1982). Hydrops adalah suatu
kejadian patologis dimana volume cairan alantois atau cairan amnion atau
keduanya mengalami pertambahan yang abnormal. Pertambahan ini terjadi secara
lambat, tetapi tetap dan melebihi volume normal. Tekanan yang berasal dari
pertambahan volume cairan kandungan mengarah keluar hingga uterus teregang.
Keregangan ini melebihi keregangan yang ditimbulkan oleh pertambahan volume
fetus. Namun demikian inisiatif otot-otot uterus untuk berkontaksi tidak
terjadi. Perut hewan terlihat sangat membesar, tetapi proses kelahiran tidak juga
terjadi, sedang fetus kadang ditemui masih dalam keadaan hidup.
b)
Mekanisme Immunologik
Keseluruhan masa kebuntingan selama
285 hari pada sapi mungkin diperlukan untuk mengembangkan respon imunologik
terhadap fetus yang dianggap asing karena adanya kontribusi faktor paternal (Partodihardjo, 1982).
c)
Mekanisme Hormonal
Menurut teori ini, partus diinduksi
dengan peningkatan kadar hormon estrogen atau oxytocin dan penurunan kadar
progesteron dalam sirkulasi darah induk. Turunnya kadar progesteron dan meningkatnya
kadar estrogen pada akhir masa kebuntingan mungkin dapat merangsang pelepasan
oxytocin dari neurohypofise dan menstimulasi uterus untuk memulai berkontraksi
sehingga memudahkan dalam proses kelahiran (partus) (Manalu
et. al,.
1995). Kemungkinan lain
adalah gertakan dan dilatasi cervic dan vagina secara refleks menstimulir
pelepasan oxytocin.
Pada hewan ternak, konsentrasi
progestron di dalam plasma induk menurun segera sebelum partus (Manalu
et. al,. 1995).. Pada dasarnya fungsi progesteron
adalah mencegah terjadinya kontraksi otot uterus sehingga uterus menjadi
tenang. Hal ini telah dimulai sejak terbentuknya corpus luteum. Jika
progesteron lenyap dari peredaran darah misalnya dengan menghilangkan corpus
luteum maka proses kebuntingan dapat terganggu dan dapat mengakibatkan abortus.
Penurunan kadar progesteron menyebabkan estrogen lebih dominan dalam otot
uterus. Selanjutnya oxytocin merangsang uterus untuk memulai kontraksi.
Kadar estrogen meningkat selama masa
kebuntingan dan pada sapi mencapai puncak konsentrasinya pada beberapa saat
sebelum partus. Estrogen menyebabkan kontraksi myometrium secara spontan.
Estrogen dapat menghilangkan aksi hambatan progesteron atau mempunyai pengaruh
langsung terhadap kontraktilitas myometrium. Pertambahan estrogen dalam darah
mempunyai korelasi yang erat dengan pertambahan berat placenta. Semakin berat
placenta dalam uterus, semakin tinggi kadar estrogen dalam darah. Sebelum
terjadi kebuntingan, estrogen berperan dalam kontraksi uterus, hal ini
diperlukan untuk membawa semen yang dideposisikan dalam cervic ke tempat
fertilisasi (Manalu et. al,. 1995)..
Prostaglandin F (PGF), suatu substansi
farmakologik aktif, yang dihasilkan oleh karunkula berperan dalam proses partus
yaitu merangsang kontraksi otot uterus. Semakin banyak Prostaglandin yang
dihasilkan, maka semakin kuat kontraksi tersebut (Manalu et. al,. 1995). Tingginya jumlah PGF di dalam darah
venosus uterus erat hubungannya dengan tibanya waktu kelahiran.
4)
Tahap – Tahap Kelahiran (Perejanan)
Stadium
persiapan kelahiran ditandai oleh intesitas kontraski dari muskulatur uterus.
Mula-mula konraksi terjadi pada tahap 15 menit sekali, sedangkan lama kontraksi
hanya berlangsung dalam kurung waktu 15-30 detik. Karena kontraksi dimulai dari ujung cranial uterus (apex uterus)
maka isi kandungan terdesak ke arah serviks. Akibat desakan ini, maka cairan
lantois dan amnion membran alantois dan amnion menyusup ke dalam lumen serviks.
Serviks
yang telah merileks sedikit
demi sedikit membuka. Sesuai dengan berjalannya waktu, maka kontraksi
berlangsung cepat dan semakin kuat. Kontraksi terjadi tiap tiga menit sekali dan lama kontraksi berlangsung selama
20-40 detik. Akhir stadium persipan ialah servik terbuka luas
yaitu seluas lumen vagina. Pada saar itu terlihat ada alantois membesar.
Bila
perejanan perut telah dimulai, maka kantung alantois akan keluar vulva.
Allantois pecah dan disusul pengeluaran amnion yang berisi foetus berada dalam
vagina. Dengan perejanan yang kuat maka amniom pecah dan foetus keluar dengan
dimulai dari putusnya tali pusar dan plasenta.
b) Stadium
Pengeluaran Fetus.
Stadium
pengeluaran fetus ini pada umumnya berlangsung relatif sangat singkat. Pada
akhir stadium persiapan kantong allantois keluar dari vulva dan kantong amniom
masuk ke dalam ruang pelvis beserta fetusya. Selanjutnya kantong
allantois pecah dan kantong amnion mulai masuk kesaluran kelahiran dan selanjutnya menyambul keluar.
Seringkali
tepat pada celah vulva dalam kantong amnion adapat diraba adanya kedua ceracak
kaki depan atau kaki belakng foetus. Dari pengamatan letak kaki dan ceracak ini
kita dapat menetukan letak foetus dalam ruang pelvis. Letak tersebut
dapat terlentang dan dapat pula telunkup tergantung dari kemana telapak
teracak itu mengarah. Jika foetus masuk ke dalam ruang pelvis, maka
foetus merupakan berat badan yang menimbulkan keregangan pada ruangan
pelvis, maupun jalan kelahiran . Rangsangan yang diterim pelvis dan jalan
kelahiran akan diteruskan ke susunan syaraf pusat ( otak). Sehingga timbullah
reflek merejan yang kuat. Kontraksi urat daging uterus, perut dan diafragma
dapat menimbulkan perejanan yang kuat.
Perejanan
mula-mula terjadi tiap 5 menit sekali dan selanjutnya 4 menit dan 3 menit dan
seterusny, tipa perejanan mula-mula berlangsung singkat dan lama-lama semakin
memanjang waktunya 5-10-20-40-80- detik per tiap perejanan.
Estrogen
yang dibutuhkan oleh uterus untuk memperkuat daya kerja rangsangan oxytocin
terhadap uterus ( urat daging) guna kontraksi. Pengaruh estrogen dan oxytocin
dalam memacu kontraksi uterus dan memperkecil volume uterus menyebabkan
plasenta terdorong masuk ke dalam lumen serviks (Manalu et. al,. 1995). Waktu yang dibutuhkan untuk
pengeluaran plasenta sangat sangat tergantung kepada kondisi kesehatan hewan
yang baru melahirkan. Hewan yang mwndapat kesempatan bergerak dilapangan
terbuka misalnya merumput, mendaki lereng gunung atau bukit, lari-lari, maka
stadium pengeluaran plasenta berlangsung relatif lebih singkat.
c) Stadium
pengeluaran plasenta
Beberapa
saat sebelum jam kelahiran foetus dimulai, vili-vili plasenta putus di beberapa
tempat mengalami degenerasi. Proses ini berjalan terus sampai urat daging
uterus berkontraksi selama tahap stadium persiapan, dan setelah foetus lahir
dan tali pusar putus maka volume darah dalam vili-vili turun dengan cepat dan
vili-vili segera kempes dan berkerut. Kontraksi uterus terus berlangsung dan plasenta
akan dikeluarkan setelah terjadi pelepasan foetalis dari plasenta meternal (Manalu et. al,.
1995). Pengurangan volume dan
kontraksi ini menyebabkan krepta-krepta endometrium tempat vili-vili plasenta
fetalis bertaut menjadi dangkal. Hal ini menyebabkan vili-vili plasenta
terlepas dan membawa plasenta lebih mendekati serviks.
d) Peran
Hormonal
Horman
yang ikut memegang peranan dalam mengeluarkan plasenta dari uterus adalah
estrogen dan oksitosin. Kedua hormon memacu uterus untuk berkontraksi dan
turunnya susu dari alveoli ke dalam saluran susu, maka aktivitas hewan yang
baru lahir yang menyusu memberi efek kepada sekresi dan oksitosin membantu
pengeluaran plasenta. Membran alantois menjadi pecah dan cairan alantois mulai mengalir keluar, sedangkan
amnion beserta fetus memasuki
ruang pelvis, sehingga terjadi rangsangan ke pusat sumsum tulang punggung yang
diteruskan berupa refleks ke urat daging perut dan diafragma serta timbullah kontraksi bersama urat
daging perut dan diafragma (Manalu et. al,. 1995).
e) Puerperium
Puerperium
ialah waktu yang terjadi pada induk hewan setelah selesai melahirkan fetus dan
plasentanya sampai induk tersebut timbul kembali birahi normal.
Perubahan-perubahan yang penting dalam puerpurium adalah regenarasi
endometrium, involusi uterus dan birahi setelah partus.
Ada beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya proses kelahiran, yakni:
1.
Penurunan fungsi placenta diakhir usia kehamilan menyebabkan kadar
estrogen dan progesteron menurun mendadak sehingga nutrisi untuk janin dan
placenta berkurang.
2.
Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser menjadi
stimulasi bagi kontraksi otot polos rahim.
3.
Peningkatan beban/stress pada calon ibu dan janin menyebabkan
peningkatan kativasi kortison,prostaglandin dan oksitosin menjadi pencetus
rangsangan-rangsangan untuk melahirkan.
6) Perawatan
Pasca Kelahiran
Ada
beberapa sarana yang perlu disiapkan pada saat kelahiran: suatau petak
kandang yang beralas ( bedding) yang bersih, sumber penerangan ( lampu), air
hangat dan sabun, pembungkus ekor, desinfektan, obat untuk pusar (
yodium, merthiolate), suatu kantung enema dan suatu zat laksatif seperti susu
magnesia.
Plasenta
idealnya harus bisa keluar dalam waktu 3 jam dan harus diperiksa bahwa tidak
ada potongan-potongan ata sisa-sisa yang tertinggal karena hal itu dapat
menyebabkan timbulnya founder atau infeksi. Bila dalam 6 jam tidak keluar
seluruhnya, perlu dimintakan bantuan dokter hewan untuk mengelurkan sisa-sisa
tersebut.
Beberapa kemungkinan yang terjadi pasca
kelahiran:
1. Abnormalitas
2.
Kelahiran yang
bertambah lama, kurang berfungsinya plasenta dan atau asfiksia ( kekurangan
oksigen)
3.
Distokia karena masalah
yang berkaitan dengan fetus atau induk.
4.
Gangguan metabolisme
secara umum pada induk sebelum atau selama partus ( misalnya toksemia kebuntingan)
5.
Hipotermia, Shock
lingkungan dan kedinginan pada fetus yang baru lahir
6.
Kelemahan, kegagalan
menyusu dan memperoleh kolostrum.
7.
Tertindih oleh induk,
khususnya bagi anak babi.
8.
Bobot lahir yang
rendah, memperburuk kecendrungan nomor 5, 6 dan 7
9.
Infeksi bakteri ,
mencret dan dehidrasi.
10.
Kondisi seperti
anemia,hipoglikemia, dan kekurangan mineral
11.
Asuhan yang buruk atau
ditolak oleh induk sendiri, misalnya apada anak domba.
12.
Dimangsa oleh hewan
lain, khususnya untuk anak domba.
BAB III
PENUTUP
Dari hasil
penulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Fetus
adalah hasil akhir dari suatu proses diferensiasi secara teratur yang merubah
zigot bersel satu menjadi suatu replica dari jenis hewan yang bersangkutan.
2) Perkembangan
fetus dibagi beberap tahapan yaitu: diferensiasi, pembentukan somit,
organogenesis, perkembangan organogenesis dan ekstermitas sampai kelahiran.
3) Tanda-tanda induk yang akan melahirkan: induk
hewan gelisah, ligamenta sacrospinosum et tuberosum merelaks, edema
pada vulva, lendir sumbat cervic mencair, kolostrum telah menjadi cair dan
apabila ambing dipencet akan mengeluarkan susu, dan sebagainya.
4) Beberapa
tahapan persiapan melahirkan yaitu stadium persiapan, pengeluaran fetus, dan
pengeluaran plasenta.
DAFTAR PUSTAKA
Achyadi, K. R., 1979.
Pengaruh PMSG dan HCG untuk Induksi Superovulasi Pada Domba Priangan. Tesis MS
Pascasarjana IPB. Bogor.
Iman dan Fahriyan., 1992. In Vitro
Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Pusat Antar Universitas Bioteknologi
IPB. Bogor
Inonu, I. dan L.C.
Iniguez., 1991. Sheep Performance at RIAP’s Bogor Research
Fasility, In : Sheep Proliferacy Small Ruminan. CRSP Progress Report 1990-1991
Manalu, W. dan M. Y. Sumaryadi., 1995.
Hubungan Antara Konsentrasi Progeteron dan Estradiol Dalam Serum Induk Selama
Kebuntingan Dengan Massa Fetus Pada Akhir Kebuntingan. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Peternakan BPT. Ciawi. Bogor. Pp:57-62.
Partodihardjo. 1982.
Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta.
Sumaryadi, Haryati dan Wasmen Manalu. 2000.
Efek Penyuntikan PMSG terhadap Konsentrasi Progestron kaitannya dengan
Pertumbuhan Kelenjar Uterus Domba pada Phase Luteal Siklus Birahi, Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian Peternakan Bogor
Hal. 111 – 116.
Toelihere
R. Mozes.1985.Fisiologi Reproduksi Pada Ternak, Penerbit Angkasa Bandung,
Kelahiran merupakan proses
pengeluaran fetus yang dimulai dengan kontaksi kuat dan teratur dari uterus dan
cervix. Proses kelahiran biasanya dibagi menjadi tiga fase(1) pelebaran cervix,
(2) pengeluaran fetus dan (3)
pengeluaran plasenta.